Rabies 
(penyakit anjing gila) : Gejala, patogenesis dan pengobatan
RABIES 
DEFINISI
Rabies adalah penyakit infeksi akut susunan saraf pusat pada manusia dan
 mamalia yang berakibat fatal. Penyakit ini disebabkan oleh virus rabies
 yang termasuk genus Lyssa virus, famili Rhabdoviridae dan menginfeksi 
manusia melalui sekret yang terinfeksi pada gigitan binatang. Nama lain 
hydrophobia, la rage (prancis), la rabbia (italia), la rabia (spanyol), 
die tollwut (jerman) atau diindonesia dikenal sebagai penyakit anjing 
gila.
SEJARAH
Istilah rabies dikenal sejak adu Babylon kira-kira abad ke 23 sebelum 
Masehi (SM) dan Democritus menulis secara jelas binatang menderita 
rabies pada tahun 500 SM. Tulisan adanya efek rabies  pada manusia 
dengan gejala hidrophobia dilaporkan pada abad pertama oleh Celsus dan 
gejala klinis rubies baru ditulis pada abad ke-16 oleh Fracastoro, 
seorang dokter Italia. Pada tahun 1880 Luis Pasteur mendemonstrasikan 
adanya infeksi pada susunan saraf pusat. Pengobatan dilakukan dengan 
cara kauterisasi sampai ditemukan  vaksin olet Louis pasteur pada tahun 
1885. Pertumbuhan virus rabies pada jaringan ditemukan pada tahun 1930 
dan baru dapat diperlihatkan dengan mikoskop elekron pada tahun 1960.
ETIOLOGI
Virus rabies merupakan prototipe dari genus lyssa virus dari famili 
rhabdoviridae. Dari genus lyssa virus ada 11 jenis virus yang secara  
antigenik mirip virus rabies dan yang menginfeksi manusia adalah virus 
rabies, Mokola, Duvenhage dan European bat lyssa virus.
Virus rabies termasuk golongan virus RNA. Virus berbentuk peluru dengan 
ukuran 180 x 75 nm, single stranded RNA terdiri dari kombinasi nukleo 
protein yang berbentuk koil heliks yang tersusun dari fosfoprotein dan 
polimerase RNA. Selubung virus terdiri dari lipiid, protein matriks dan 
glikoprotein. Virus rabies inaktif pada pemanasan pada temperatur 56 
derajat celcius waktu paruh kurang dari 1 menit, dan pada kondisi lembab
 pada temperatur 37 derajat celcius dapat bertahan beberapa jam. Virus 
juga akan mati dengan deterjen, sabun,etanol 45 %, solusi jodium.
Virus rabies dan virus lain yang sekeluarga dengan rabies di 
klasifikasikan menjadi 6 genotipe. Rabies merupakan genotipe 1, Mokola 
genotipe 3, Duvenhage genotipe 4 dan european bat lyssa-virus genotipe 5
 dan 6. 
DISTRIBUSI DAN lNSlDENS
Distribusi rabies tersebar di seluruh dunia dan hanya beberapa negara 
yang bebas rabies seperti Australia, sebagian besar Skandinavia, 
inggris,  Isladia, Yunani, Portugal, Uruguay, Chili, Papua Nugini, 
Brunai, Selandia baru, Jepang dan Taiwan.
Di Indonesia sampai akhir tahun 1977 rabies tersebar di 20 provinsi dan 7
 provinsi yang dinyatakan bebas rabies adalah Bali, NTB, NTT, Maluku,  
lrian Jaya, dan Kalimantan Barat. Data tahun 2001 menunjukkan terdapat 7
 provinsi yang bebas rabies yaitu Jawa tengah, Jawa Timur Kalimatan 
Barat, Bali-NTB, Maluku dan Irian Jaya. Data rabies yang akurat jarang 
dijumpai pada banyak negara di dunia sehingga sulit untuk menentukan, 
insidens penyakit ini secara global. Pada survei tahun 1999, 45 negara 
dari 145 negara yang disurvei dilaporkan tidak dijumpai kasus rabies di 
tahun tesebut.
Jumlah kematian di dunia karena penyakit rabies pada manusia 
diperkirakan lebih 50.000 orang tiap tahunnya dan terbanyak pada 
negara-negara  Asia dan Afrika yangg merupakan daerah endemis rabies. 
Dari tahun 1997 sampai tahun 2003 dilaporkan lebih 86.000 kasus gigitan 
binatang tersangka rabies di seluruh indonesia (rata rata per tahun 
12.400 kasus dan yang terbukti rabies 538 orang (rata-rata 76 kasus 
pertahun).
Pada tahun 2000 kasus rabies paling banyak dilaporkan dari provinsi NTT 
(59 kasus), Sulawesi Tenggara (14 kasus), Sumatera Barat (8 kasus), 
Bengkulu dan Sulawesi Selatan (masing-masing 7 kasus). Pada tahun 2001 
kasus terbanyak terjadi di Sumatera Barat (18), Sulawesi Tenggara (13) 
dan NTT (11), sedangkar pada tahun 2002 dan 2003 tidak ada provinsi yang
 melaporkan lebih dari 10 kasus pertahun. Di Indonesia binatang 
penggigit yang paling banyak adalah ajing (90%), kucing (6%), kera dan 
lain-lain (4%). Di Asia rabies banyak dijumpai di India, Sri Langka, 
pakistan, Bangladesh, China, Filipina dan Thailand. Negara lain yang 
juga banyak dijumpai kasus rabies adalah Meksiko. Amerika Tengah dan 
Selatan,  Amerika Serikat.
TRANSMISI
Infeksi terjadi biasanya melalui kontak dengan binatang seperti anjing, 
kucing, kera, serigala, kelelawar dan ditularkan pada manusia melalui 
gigitan binatang atau kontak virus (saliva atau air liur binatang) 
dengan luka pada host ataupun melalui membran mukosa.  Kulit yang utuh 
merupakan barier pertahanan terhadap infeksi.
Transmisi dari manusia ke manusia, belum pernah dilaporkan. Infeksi 
rabies pada manusia terjadi dengan masuknya virus lewat luka pada kulit(
 garukan, lecet, luka robek) atau mukosa. Paling sering infeksi terjadi 
melalui gigitan anjing, tetapi bisa juga melalui gigitan kucing kera 
atau binatang lainnya yangg terinfeksi (srigala, musang, kelelawar ).
Cara infeksi yang lain adalah melalui inhalasi didimana dilaporkan 
terjadinya infeksi rabies pada orang yang mengunjungi gua kelelawar 
tanpa ada gigitan. Dapat pula kortak virus rabies pada kecelalaan kerja 
di laboratorium, atau akibat vaksinasi dari virus rabies yang masih 
hidup. Terjangkitnya infeksi rabies juga dilaporkan pada tindakan 
transplantasi kornea dari donor yang mungkin terinfeksi rabies.
PATOGENESIS DAN PATOLOGI
Setelah virus rabies masuk ke tubuh manusia, selama 2 minggu virus 
menetap pada tempat masuk dan dijaringan otot di dekatnya virus 
berkembang biak atau langsung mencapai ujung-ujung serabut saraf perifer
 tanpa menunjukkan perubahan-perubahan fungsinya. Selubung virus menjadi
 satu dengan membran plasma dan protein ribonukleus dan memasuki 
sitoplasma. Beberapa tempat pengikatan adalah reseptor asetil-kolin 
post-sinapstik pada neuromuskular juction di susunan saraf pusat.
Dari saraf perifer virus menyebar secara sentripetal melalui endometrium
 sel-sel Schwan dan melalui aliran aksoplasma mencapai ganglion dorsalis
 dalam waktu 60-72 jam dan berkembang biak. Selanjutnya virus menyebar 
dengan kecepatan 3 mm/jam ke susunan saraf pusat (medula spinalis dan 
otak) melalui cairan cerebrospinalis.
Di otak virus menyebar secara luas dan memperbanyak  diri dalam semua 
bagian neuron, kemudian bergerak ke perifer dalam serabut saraf eferen 
dan pada saraf volunter maupun saraf otonom. 
Penyebaran selanjutnya dari SSP ke saraf perifer termasuk serabut saraf 
otonom, otot skeletal, otot jantung, kelenjar adrenal (medula), ginjal, 
mata, pankeas. Pada tahap berikutnya virus akan terdapat pada kelenjar 
ludah, kelenjar lakrimalis, sistem respirasi.   Virus juga tersebar pada
 air susu dan urin.
Pada manusia hanya dijumpai kelainan pada midbrain dan medula spinalis 
pada rabies type furious (buas) dan pada medula spinalis pada tipe 
paralitik. Perubahan patalogi berupa degenerasi sel ganglion, infiltrasi
 sel mononuklear dan perivaskuler, neuronovagia dan pembentukan nodul 
pada glia pada otak dan medula spinalis. Dijumpai Negri bodies yaitu 
benda intrasitoplasmik yang berisi komponen virus terutama protein 
ribonuclear dan fragmen organela seluler seperti ribosome. Negri bodies 
dapat ditemukan pada seluruh bagian otak, terutama pada korteks serebri,
 barang otak, hipotalamus, sel purkinje, serebelum, ganglia dorsalis 
medulla spinalis. Pada 20% kasus rabies tidak ditemukan Negri bodies. 
Adanya miokarditis menerangkan tejadinya aritmia  pada Pasien rabies.
GEJALA KLINIS
Masa inkubasi rabies 95 % antara 3-4 bulan, masa inkubasi bisa 
bervariasi antara 7 hari sampai 7 tahun, hanya 1% kasus dengan masa 
inkubasi 1-7 tahun. Karena lamanya masa inkubasi kadang-kadang pasien 
tidak dapat mengingat kapan terjadi gigitan. Pada anak-anak masa 
inkubasinya biasanya lebih pendek dari pada orang dewasa. Lamanya masa 
inkubasi dipengaruhi oleh dalam dan besarnya luka gigitan, lokasi luka 
gigitan (jauh dekatnya kesistem saraf pusat), derajat patogenitas virus 
dan persarafan daerah luka gigitan. Luka pada kepala masa inkubasinya 
25-48 hari. 
Pada manusia secara teoritis, gejala klinis terdiri dari 4 stadium yang 
dalam keadaan sebenarnya sulit dipisahkan satu dari yang lainnya yaitu 
gejala (1) prodormal non-spesifik, (2) ensefalitis akut, (3) disfungsi 
batang otak, (4) koma dan kematian.
Stadium prodromal
- Stadium prodromal berlangsung 1-4 hari dan biasanya tidak didapatkan
 gejala spesifik. Umumnya disertai gejala respiratorik atau abdominal 
yang ditandai oleh demam, menggigil, batuk, nyeri menelan, nyeri perut, 
sakit kepala, malaise, mialgia, mual, muntah, diare dan nafsu makan 
menurun. 
 
- Gejala yang lebih spesifik yaitu adanya gatal dan parastesia pada 
luka bekas gigitan yang sudah sembuh (50%). Stadium prodromal dapat 
berlangsung sampai 10 hari, kemudian penyakit akan berlanjut sebagai 
gejala neurologik akut yang dapat berupa furious atau paralitik. 
Mioedema (mounding of part of the muscle struck with a reflex hammer 
which than disappears in the few second) di jumpai pada stadium 
prodormal dan menetap selama perjalanan penyakit.
 
Stadium neurologi akut
- Dapat berupa farious dan paralitik. Pada gejala farious penderita 
menjadi hiperaktif, disorientasi, mengalami halusinasi atau bertingkah 
laku aneh. Setelah beberapa jam sampai hari, gejala hiperaktif menjadi 
intermiten setiap 1-5 menit berupa periode agitasi, ingin lari, 
menggigit diselingi periode tenang. Keadaan hiperaktif dapat terjadi 
karena rangsangan dari luar, seperti suara, cahaya, tiupan udara dan 
rangsangan lainnya yang menimbulkan kejang sehingga timbul 
bermacam-macam fobia terhadap rangsangan-rangsangan tersebut.
 
- Bila penderita di beri minum segelas air, dan mencoba meminumnya 
akan terjadi spasme hebat otot-otot faring. Akibatnya penderita menjadi 
takut terhadap air (hidrophobia) yang khas untuk rabies. Keadaan yang 
sama dapat ditimbulkan oleh rangsangan sersorik seperti meniupkan udara 
ke muka pasien (aerofobia), atau dengan menjatuhkan sinar ke 
mata(fotofobia) atau dengan menepuk tangan di dekat telinga pasien.
 
- Tanda- tanda klinis lain yang dapat dijumpai berupa hiperaktifitas, 
halusnasi, ganguan kepribadian, meningismus, lesi saraf kranialis, 
fasikulasi otot dan gerakan-gerakan involunter, fluktuasi suhu badan, 
dilatasi pupil. Lesi pada nulkeus amigdaloid memberi gejala libo yang 
meningkat, priapismus, dan orgasme spontan.
 
- Gejala otonomik pada stadium ini diantaranya adalah dilatasi pupil 
yang ireguler, peningkatan lakrimasi, hipertemia, takikardia, hipotensi 
postural, hipersalivasi,. Gejala lain dalam fase neurologik akut adalah 
demam, fasikulasi otot, hiperventilasi dan konvulsi. Meskipun sering 
kejang penderita tetap sadar. Gejala-gejala stadium eksitasi dapat terus
 berlangsung sampai penderita meninggal. Kematian paling sering terjadi 
pada stadium ini yang dapat terjadi akibat gagal napas yang disebabkan 
oleh kontraksi hebat otot-otot pernapasan atau keterlibatan pusat 
pernapasan dan miokarditis, aritmia dan henti jantung akibat stimulasi 
nervus vagus. Bila stadium ini dapat terlewati, penderita masuk 
kestadium paralitik.
 
- Apabila penderita tidak meninggal, 20% penderita akan masuk pada 
stadium paralitik yang ditandai oleh demam dan sakit kepala, paralisis 
pada ekstrimitas yang digigit, mungkin difus atau simetris atau dapat 
menyebar secara acandens seperti pada sindrome guillain-barre dan kaku 
kuduk dapat dijumpai.
 
- Pada stadium paralitik dapat tidak ditemui gejala hidrofobia, 
aerofobia, hiperaktivitas dan kejang. Pada keadaan ini kesadaran dapat 
utuh, akan tetapi dapat memburuk secara gradual menjadi bingung, 
disorientasi, paraplegia, ganggran menelan, kelumpuhan pernapasan dan 
akhirnya meninggal. Seluruh manifestasi neurologik akut terjadi 
selama2-7 hari dengan fase paralitik lebih panjang.
 
Stadium koma
- Apabila tidak terjadi kematian pada stadium neurologik, penderita 
akan mengalami koma. Koma dapat terjadi dalam 10 hari setelah gejala 
rabies tampak dan dapat berlangsung hanya beberapa jam sampai 
berbulan-bulan tergantung dari penanganan intensif. Pada penderita yang 
tidak di tangani, penderita dapat segera meninggal setelah terjadi koma 
dan pada penanganan di amerika serikat, rata-rata lamanya perawatan 
sampai 13 hari.
 
- Beberapa komplikasi dapat terjadi dan menjadi penyebab kematian. 
Sampai saat ini hampir keseluruhan penderita rabies meninggal, hanya ada
 4 laporan penderita ensefalitis rabies hidup. Dua penderita diberikan 
vaksin tanpa imunoglobulin sesudah gigitan multiple dan bertahan hidup 
lama (34 bulan pada satu kasus) tetapi dengan gangguan neurologik yang 
berat. Dua kasus lain di diagnosis sebagai ensefalitis rabies setelah 
pemberian vaksin embrio bebek dan suckling mouse vaccine tetapi 
diagnosis hanya berdasarkan tes serologi (tidak di jumpai 
antigen/antivirus).
 
   
Tabel 1. Perjalanan klinis penderita rabies 
 |   
   
Stadium 
 |    
Lamanya 
 |    
Manifestasi   klinis 
 |   
   
Inkubasi  
 |    
•           Kurang dari 30 hari (25%) 
•           30-90 hari (50%) 
•           90 hari-1 tahun (20%) 
•           Lebih dari 1 tahun (5%) 
 |    
Tidak ada 
 |   
   
Prodromal  
 |    
2-10 hari 
 |    
Parastesia, nyeri pada luka gigitan, demam, malaise, anoreksia, mual   dan muntah, nyeri kepala, letargi, agitasi, depresi. 
 |   
   
Neurologik akut 
 
 
 
 
 
 
 |    
 
 
 
 
 
 
 
 |    
     
Halusinasi,
 bingung, delirium, tingkah laku aneh, takut, agitasi,     menggigit, 
hidrophobia, aerophobia, hipersalivasi, disfagia, afasia, inkoordinasi, 
    hiperaktif, spasme faring, kejang, hiperventilasi, hipoksia, 
disfungsi     saraf otonom, sindrom abnormalitas ADH 
 |      
     
Paralisis flacid 
 |      
 
 
 |   
   
Koma  
 |    
0-14 hari  
 |    
Autonomic
 instability, hipoventilasi, apnea, henti nafas,   hipo/hipertermia, 
hipotensi, disfungsi pituari, rhabdomiolisis, aritmia, dan   henti 
jantung 
 | 
 
KOMPLIKASI
Berbagai komplikasi dapat terjadi pada penderita rabies dan biasanya 
timbul pada fase koma. Komplikasi neurologik dapat berupa peningkatan 
tekanan intra kranial, kelainan pada hipotalamus berupa diabetes 
insipidus, sindron abnormalitas hormon artidimetik (SAHAD); disfungsi 
otonomik yang menyebabkan hipertensi, hipotensi, Hipertemia/ 
hipotermia., aritmia dan henti jantung. Kejang dapat lokal maupun 
generalisata dan sering bersamaan dengan aritmia dan gangguan respirasi.
Pada stadium prodromal sering terjadi komplikasi hiperventilasi  dan 
alkalosis respiratorik, sedangkan hipoventilasi dan depresi pernapasan 
terjadi pada fase neurologik akut. Hipotensi terjadi karena gagal 
jantung kongestif, dehidrasi dan gangguan otonomik. Penanganan terhadap 
komplikasi seperti terlihat pada tabel 2 dibawah ini.
   
Tabel.2. komplikasi pada rabies dan penanganannya 
 |   
   
Komplikasi 
 |    
Penanganan 
 |   
   
Neurologik  
     
Hiperaktif  
 |      
     
Hidrophobia 
 |      
     
Kejang fokal 
 |      
     
Gejala neorologi lokal 
 |      
     
Endema serebri 
 |      
     
Aerophobia 
 |      
 
 
 |    
 
     
Fenotiazin, benzodiazepin,  
 |      
     
Tidak diberikan apa-apa lewat mulut 
 |      
     
Karbamazepin, fenitoin 
 |      
     
Tidak perlu tidakan apa-apa 
 |      
     
Mannitol, gliserol 
 |      
     
Hindari stimulasi 
 |      
 
 
 |   
   
Pituari  
 
 |    
 
     
Batasi cairan 
 |      
     
Cairan, vasopresin 
 |      
 
 
 |   
   
Pulmonal  
     
Hiperventilasi  
 |      
     
Hipoksemia  
 |      
     
Atelektasis  
 |      
     
Apnea  
 |      
     
Pneumothoraks  
 |      
 
 
 |    
 
     
Tidak ada 
 |      
     
Oksigen, ventilator, PEEP 
 |      
     
ventilator 
 |      
     
ventilator 
 |      
     
Dilakukan ekspansi paru 
 |      
 
 
 |   
   
Cardiovaskular  
     
Aritmia  
 |      
     
Hipotensi  
 |      
     
Gagal jantung kongestiv 
 |      
     
Trombosis arteri/vena 
 |      
     
Obstruksi vena cava superior 
 |      
     
Henti jantung 
 |      
 
 
 |    
 
     
Oksigen, obat anti aritmia 
 |      
     
Cairan, dopamin 
 |      
     
Batasi cairan, obat-obatan 
 |      
     
Heparin  
 |      
     
Lakukan pencegahan 
 |      
     
Resustasi  
 |      
 
 
 |   
   
Lain-lain 
     
Anemia  
 |      
     
Pendarahan gastrointestinal 
 |      
     
Hipertermia  
 |      
     
Hipotermia  
 |      
     
Hipovolemia  
 |      
     
Ileus paralitik  
 |      
     
Retensio urin 
 |      
     
Gagal ginjal akut 
 |      
     
Pneumomediastinum  
 |      
 
 
 |    
 
     
Tranfusi darah 
 |      
     
H2 bloker, transfusi darah 
 |      
     
Lakukan pendinginan 
 |      
     
Selimut panas 
 |      
     
Pemberian cairan 
 |      
     
Cairan parenteral 
 |      
     
Katerisasi  
 |      
     
Haemodialisis  
 |      
     
Tidak dilakukan apa-apa 
 |      
 
 
 |   
 
PEMERIKSAAN LABORATORIUM
Pemeriksaan laboratorium pada penyakit rabies tidak spesifik. Pada awal 
dari penyakit hemoglobin normal dan sedikit menurun pada perjalanan 
penyakit, leukosit antara 8000-13000/mm3 sering dijumpai, trombosit 
biasanya normal.
Pada urinalisis di jumpai adanya albuminuria dengan peningkatan sel 
leukosit pada sedimen. Pada cairan serebro spinalis (CSS) dapat di umpai
 adanya ensefalitis, peningkatan leukosit 70/mm3, tekanan CSS dapat 
normal atau meningkat, protein dan glukosa normal. Selama minggu pertama
 perjalanan penyakit, cairan CSS normal pada 40% penderita, limfositik 
pleositosis ringan biasanya terjadi dan protein total meningkat lebih 
dari 200mg/dl. Pada EEG secara umum di dapatkan gelombang lambat dengan 
penekanan aktivitas dan paroksismal spike. CT-scan dan MRI pada otak 
terlihat normal.
Isolasi virus sangat baik dilakukan pada minggu pertama dari bahan yang 
berasal dari saliva, hapusan tenggorokan, trakea, kornea, sampel biopsi 
kulit atau otak, cairan CSS dan kadang-kadang urin. Isolasi virus 
kadang-kadang tidak berhasil didapatkan dari bahan-bahan tersebut 
setelah 10-14 hari sakit, hal ini berhubungan dengan adanya neutralising
 antibodies.
Deteksi netralizing antibodies dalam serum penderita yang tidak 
divaksinasi, dapat di pakai sebagai alat diagnostik. Terdapatnya 
antibodi dalam CSS juga menegakan diagnostik, tetapi muncul 2-3 hari 
lebih lambat dibandingkan dengan antibodi serum, dan kurang bermanfaat 
pada awal penyakit, namun dipakai untuk mengevaluasi respon antibodi 
pada serum dan CSS sesudah vaksinasi yang memberikan kadar tinggi (pada 
CSS kadarnya 2-25% dari serum). Pada kasus tertentu antibodi dapat tidak
 terbentuk sampai hari ke 24. 
Flaurencest antibodi test (FAT) dapat dengan cepat mengidentifikasi 
antigen virus di jaringan otak, sedimen CSS, urin, bahkan setelah teknik
 isolasi virus tidak berhasil. Sensitivitas tes ini 60-100%. FAT pada 
hapusan kornea sangat tidak sensitif untuk digunakan karena sering 
terjadi positif palsu. Pada awal penyakit (minggu 1) FAT dari kulit di 
leher merupakan tes yang paling sensitif, walaupun dapat terjadi negatif
 palsu. Di Amerika serikat tes standar adalah rapid fluorencent focus 
inhibition test (RFFIT) untuk mendeteksi antibodi spesifik, dimana hasil
 diperoleh dalam waktu 48 jam.
Pada 79-90% penderita rabies di temukan negri bodies yang khas untuk 
penyakit tersebut, yang bersifat asidofilik, berbentuk bulat dan pada 
yang klasik terdapat butir-butir basofilik di dalamnya. Negri bodies 
dapat dilihat melalui pemeriksaan histologi biopsi jaringan otak 
penderita post-martem dan jaringan otak hewan terinfeksi atau hewan yang
 diinokulasi dengan virus rabies. Deteksi RNA virus rabies seperti juga 
pada infeksi lainnya, dapat dilakukan melalui pemeriksaan 
reverse=transciptase polymerase chain reaction (RT-PCR).
DIAGNOSIS BANDING
Rabies harus dipikirkan pada semua penderita dengan gejala neurologik, 
psikiatrik atau laringofaringeal yang tidak bisa di jelaskan, khususnya 
bila terjadi di daerah endemis atau orang yang mengalami gigitan 
binatang pada daerah endemis rabies.
Penderita rabies harus dibedakan dengan rabies histerik yaitu suatu 
reaksi psikologis orang-orang yang terpapar dengan hewan yang di duga 
rabies. Penderita dengan rabies hiterik akan menolak jika di beri minum 
(pseudohidrophobia), sedangkan pada penderita rabies sering merasa haus 
pada awalnya menerima air dan minum, yang akhirnya menyebabkan spasme 
laring.
Tetanus dapat dibedakan dengan rabies melalui masa inkubasinya yang 
pendek, adanya trismus, kekakuan otot yang persisten diantara spasme, 
status mental normal, cairan CSS biasanya normal dan tidak terdapat 
hidrophobia. Ensefalitis dapat dibedakan dengan metode pemeriksaan virus
 dan tidak dijumpai hidrophobia.
Rabies paralitik dapat dikelirukan dengan sindrom guillian-barre, 
transverse myelitis, japanese ensefalitis, herpes simpleks ensefalitis, 
poliomielitis, atau ensevalitis post vaksinasi. Pada poiomielitis saat 
timbul gejala neurologik sudah tidak ada demam, dan tidak ada gangguan 
sensorik. Ensefalitis post vaksinansi rabies terjadi 1:200-1:1600 pada 
vaksinasi nerve tissue rabies vaccine, dibedakan dengan mulai timbulnya 
gejala cepat, dalam waktu 2 minggu setelah dosis pertama. Pemeriksaan 
neurologik yang teliti dan pemeriksaan laboratorium berupa isolasi virus
 akan membantu diagnosis.
PENANGANAN ATAU PENGOBATAN RABIES
Tidak ada terapi untuk penderita yang sudah menunjukan gejala rabies. 
Penanganan hanya berupa tindakan suportif dalam penanganan gagal jantung
 dan gagal nafas. Walaupun tindakan perawatan intensif umumnya 
dilakukan, hasilnya tidak mengembirakan. Perawatan intensif hanyalah 
metode untuk memperpanjang dan bila mungkin menyelamatkan hidup pasien 
dengan mencegah komplikasi respirasi dan kardiovaskuler yang sering 
terjadi.
Isolasi penderita penting segera setelag diagnosis rabies ditegakan, 
untuk menghindari rangsangan-rangsangan yang dapat menimbulkan spasme 
otot ataupun untuk mencegah penularan. Staf rumah sakit perlu 
menghindarkan diri terhadap penularan virus dari air liur, urin, air 
mata, cairan lain dan yang paling berbahaya adalah kontak dengan mukosa 
atau kulit yang terluka khususnya akibat gigitan dengan universal 
precaution (memakai sarung tangan dan sebagainya). Virus tidak menular 
melalui darah dan tinja. Yang penting dalam pengawasan penderita rabies 
adalah terjadinya hipoksia, aritmia, gangguan elektrolit, hipotensi, 
edema serebri.
Penderita rabies dapat diberikan obat-obat sedatif dan analgetik secara 
adekuat untuk memulihkan ketakutan dan nyeri yang terjadi. Penggunaan 
obat-obat anti serum, anti virus, interferon, kortikosteroid, dan 
imunosupresiff lainya tidak terbukti efektif. Dalam dekade terakhir ini 
hampir tidak banyak perkembangan dalam penanganan kasus rabies. Jacson 
menuliskan perlunya penanganan kasus rabies lebih agresif yaitu dengan 
pemberian vaksin antirabies, imunoglobulin (monoklonal). Antiviral agent
 yang dianjurkan adalah ribavirin, interfenon alfa dan ketamin.
PENCEGAHAN
Untuk mencegah infeksi virus rabies pada penderita yang terpapar dengan 
virus rabies melalui kontak ataupun gigitan binatang pengidap atau 
tersangka rabies harus dilakukan perawatan luka yang adekuat dan 
pemberian vaksin antirabies dan imunoglobulin. Vaksin rabies perlu pula 
dilakukan terhadap individu yang beresiko tinggi tertular rabies. 
Penanganan luka
- Pengobatan lokal luka gigitan adalah faktor penting dalam pencegahan
 rabies. Luka gigitan harus segera dicuci dengan sabun, dilakukan 
debridenmen dan diberikan desinfektan seperti alkohol 40-70%, tinktura 
yodii, atau larutan ephiran 0,1%. 
 
- Luka akibat gigitan binatang penular rabies tidak dibenarkan untuk 
dijahit kecuali bila keadaan memaksa dapat dilakukan jahitan situasi. 
Profilaksis tetanus dapat diberikan dan infeksi bakterial yang 
berhubungan dengan luka gigitan perlu diberikan antibiotik.
 
Vaksinasi
- Vaksinasi post-exposure.
 
- Dasar vaksinasi post-exposure (pasca paparan) adalah  netralizing 
antibody terhadap virus rabies dapat segera terbentuk dalam serum 
setelah masuk virus kedalam tubuh dan sebaliknya terdapat dalam titer 
yang cukup tinggi selama setahun, sehubungan dengan panjangnya inkubasi 
penyakit. Neutralizing antibody tersebut dapat berasal dari imunisasi 
pasif dengan serum anti rabies atau secara aktif diproduksi oleh tubuh 
oleh karena imunisasi aktif.
 
- Secara garis besar ada dua tipe vaksin anti rabies (VAR) yaitu
 
- Nerve tissue vaksin (NTV) yang berasal dariotak hewan dewasa seperti
 kelinci, kambing, domba dan monyet atau berasal dari otak bayi hewan 
mencit seperti suckling mouse brain vaccine (SMBV)
 
- Non nerve tissue vaksin yang berasal dari telur itik bertunas (Duck 
embrio vaccine=DEV) dan vaksin yang berasal dari biakan jaringan seperti
 human diploid cell vaccine (HDCV) dan purifed vero cell rabies vaccine 
(PVRV)
 
- Pada luka gigitan yang ringan, pemberian vaksin saja sudah cukup, 
tetapi pada semua kasus gigitan yang parah dan semua gigitan binatang 
liar yang biasanya menjadi vektor rabies, kombinasi vaksin dan serum 
anti rabies (SAR) adalah yang paling ideal dan memberikan proteksi yang 
jauh lebih baik dibandingkan dengan vaksin saja. SAR dapat digolongkan 
dalam serum homolog yang berasal dari manusia (Human rabies 
immuneglobulin=HRIG) dan serum beteriolog yang berasal dari hewan.
 
- Cara vaksinasi pasca paparan yang dilakukan pada paparan yang ringan
 berupa pemberian VAR secara intra muskular pada otot deltoid atau 
anterolateral paha dengan dosis 0,5ml pada hari 0,3,7,14,28 (regimen 
essen/rekomendasi WHO) atau pemberian VAR 0,5ml pada hari 0,7,21 
(regimen zagreb/rekomendasi depkes RI). Karena mahalnya harga vaksin, di
 thailand digunakan regimen yang dinamakan the red cross intradermal 
(TRC-ID) dengan pemberian dosis 0,1ml intradermal 2 dosis pada hari 
0,3,7 kemudian 1 dosis pada hari ke 28 dan 90. 
 
- Pada orang yang sudah mendapat vaksin dalam waktu 5 tahun terakhir, 
bila digigit binatang tersangka rabies vaksin cukup di berikan 2 dosis 
pada hari 0 dan 3, namun bila gigitan di kategorikan berat vaksin 
diberikan lengkap. Pada luka gigitan yang parah, gigitan didaerah leher 
keatas, pada jari tangan dan genitalia diberikan SAR 20 IU/kgBB dosis 
tunggal. Cara pemberian SAR adalah setengah dosis infiltrasi pada daerah
 sekitar luka dan setengah dosis intramuskular pada tempat yang 
berlainan dengan suntikan SAR, diberikan pada hari yang sama dengan 
dosis pertama SAR
 
- Vaksin pre-exposure
 
- Untuk menghindari infeksi virus rabies, di samping pemberian VAR 
setelah mendapatkan gigitan binatang tersangka rabies, pencegahan lebih 
dini juga dapat dilakukan dengan memberikan suntikan yng sama tetapi 
dengan waktu, cara dan dosis yang berbeda melalui profilaksi pre 
exposure.
 
- Individu yang beresiko tinggi untuk kontak dengan virus rabies 
seperti dokter hewan, pekerja dikebun binatang, petugas karantina hewan,
 penangkap binatang dan petugas laboratorium yang bekerja dengan virus 
rabies, dokter dan perawat yang menangani pasien rabies, wisatawan yang 
berkunjung ke daerah endemis seperti mexico, thailand, filipina, india, 
srilangka dianjurkan untuk mendapat pencegahan vaksin pre-exposure. 
Vaksin anti rabies diberikan dengan dosis 1ml secara intramuskular pada 
hari 0, 7 dan 28 lalu booster setelah 1 tahun dan tiap 5 tahun.
 
- Efek samping atau komplikasi vaksinasi
 
- Vaksin anti rabies disamping memberikan perlindungan terhadap rabies
 juga dapat memberikan macam-macam reaksi negatif pada tubuh manusia 
yaitu reaksi lokal berupa bengkak, gatal-gatal, eritema dan rasa sakit 
pada tempat suntikan serta reaksi umum berupa panas, malaise mual, 
muntah diare dan mialgia. Keadaan ini dapat diatasi dengan pemberian 
kompres lokal pada tempat suntikan, antihistamin dan antipiretik.
 
- Komplikasi neurologis yang cukup berbahaya adalah ensefalomielitis 
dengan gejala sakit kepala mendadak, panas, muntah, paresis, paralisis, 
parastesia, kaku kuduk, ataksia dan kejang. Komplikasi ini biasanya 
terjadi pada vaksinasi dengan NTV yang berkaitan dengan protein mielin 
yang bersifat ensefalitogenik dan terjadi hipersensitifitas terhadap 
jaringan saraf. Pada pemakaian DEV dapat pula terjadi reaksi alergi 
terhadap protein telur bagi orang yang hipersensitif. Pada keadaan ini 
vaksin harus dihentikan dan penderita diberikan kortikosteroid dosis 
tinggi lalu diturunkan dosisnya secara bertahap. Pada pemberian HDCV 
dapat terjadi gejala seperti sindrom guillan-barre, namun sangat jarang.
 Pada vaksin generasi baru(PVRV) tidak pernah dilaporkan lagi komplikasi
 ensefalomielitis. SAR dapat memberikan efek samping reaksi anafilatik 
dan serum sickness. Rekasi anafilatik ditangani dengan pemberian 
adrenalin dan serum sickness diatasi dengan pemberian kortikosteroid dan
 antihistamin.
 
PROGNOSIS
Kematian karena infeksi virus rabies boleh dikatakan 100% bila virus 
sudah mencapai sistem saraf. Dari tahun 1857 sampai tahun1972 dari 
kepustakaan dilaporkan 10 pasien yang sembuh dari rabies, namunsejak 
tahun 1972 hingga sekarang belum ada pasien rabies yang dilaporkan 
hidup. Prognosis rabies selalu fatal karena sekali gejala rabies telah 
tanpak, hampir selalu kematian terjadi 2-3 hari sesudahnya sebagai 
akibat gagal napas atau henti jantung ataupun paralisis generalisata. 
Berbagai penelitian dari tahun 1986 sampai 200 yang melibatkan 800 kasus
 gigitan anjing pengidap rabies didaerah endemis yang segera mendapatkan
 perawatan luka, pemberian VAS dan SAR mendapatkan angka survival 100%.